Tragedi 16 Maret 2020
Ini akan menjadi tragedi yang lekat dalam ingatan dan tercatat dalam sejarah,tepat pada Senin 16 Maret 2020. Di saat wabah virus Corona meresahkan masyarakat dunia, keresahan yang sama pun menyelimuti para kader IMM yang memiliki paradigma berfikir idealis.
.
Di saat momentum silaturahmi kader sedang hangat-hangatnya,berubah menjadi pesta politik (bukan lagi demokrasi yang ideal).
Dengan dalih kemajuan zaman banyak kebenaran yang tertutupi, kawan menjadi lawan telah menjadi hal lumrah.
Kepercayaan di permainkan bahkan di perjual belikan, komitmen yang di bangun dengan mudahnya di putuskan untuk mencari aman agar tetap berkuasa.
Kedudukan mungkin di dapatkan namun kehormatan hanya di dapatkan bagi mereka yang tau bagaiman caranya mempertahankan kualitas dirinya, dan IMM Gowa tetap berada di barisan itu,bukan tentang kedudukan tapi tentang kualitas diri.
Generasi baru pun telah terlahir di forum demokrasi itu (generasi mengangguk) dengan alasan efisiensi waktu semuanya di biarkan terjadi,banyak hal yang bermunculan tukang pukul yang menyamar menjadi peserta yang seolah-olah lebur dalam kekhidmatan musyawarah, kapitalisme yang meleburkan diri menjadi kaum suci tak berdosa.
Di saat kebenaran telah di lelang apalagi yang perlu di pertahankan?, sandiwara bak pesta Mahabarata menjadi ajang yang biasa-biasa saja, sungguh miris pemuda saat ini.
Tapi kami tetap ada meski di anggap radikal kami tak peduli,yang kami pedulikan adalah kebenaran itu tetap ada. Bukankah Muhammadiyah hadir sebagai pencerah? Justru saat ini kader-kadernya sendiri yang butuh di cerahkan.
Di saat kepentingan ummat di jadikan topeng demi kepentingan individu semata, maka bersiaplah stabilitas kepemimpinan akan goyah.
Kami di besarkan dan di didik di tanah yang subur,oleh karena itu kami tahu kapan menjadi selembut sutera dan kapan menjadi sebuas singa.
Kami melawan karena kami paham, kami menolak karena kami berfikir. Bukan hanya mengangguk entah yang di anggukkan itu hal yang benar atau salah ia tak peduli itu,yang ia pedulikan adalah menang dan mendapatkan kedudukan-nya.
Kami kembali ke rumah membawa kehormatan diri, kemenangan kami adalah gagasan kami bertahan hingga akhir dan komitmen kami tidak pernah goyah meski terpaan angin semakin kencang.
Selamat menjabat dan selamat berdinamika,dan ingat kami baik-baik saja bahkan sangat baik.
Tulisan ini akan menjadi pengingat kami bahwa kami pernah berjuang dan menjadi petarung yang hebat, bukan betina atau jantan. Tapi kami Immawan dan Immawati berbeda tapi tetap sama, sejalan sepemikiran dan tetap harmonis.
Salam hangat saya salah satu petarung dalam cerita ini, terimakasih telah mendidik saya menjadi kuat dan lebih kuat lagi dari sebelumnya.
Jalanan akan menjadi ruang paling megah untuk kita berjumpa entah sebagai kawan ataukah menjadi lawan, keadaan akan memutuskan posisi itu.
-Immawati Gowa
Komentar
Posting Komentar