Identitas aktivis
“antara aktivis sebagai penindas atau yang tertindas?”
Oleh : Ayu Andira
Kader IMM SULTAN
ALAUDDIN Cab. Gowa
Sejarah banyak mencatat
dimana para mahasiswa menorehkan jejak kaki mereka sebagai agen of change,
social of control dan sebagianya. Sebagai keterfungsian mereka menjadi seorang
mahasiswa yang di mana, ini mereka dapatkan di saat mereka resmi bergelar
sebagai seorang mahasiswa, MAHASISWA sebuah nama yang begitu sakral hingga
banyak yang mengatakan bahwa suara mahasiswa adalah suara rakyat,dan suara
rakyat adalah suara tuhan,dengan kata lain
mahasiswa adalah penyambung lidah tuhan untuk menyuarakan sebuah
kebenaran. Benar adanya hal tersebut bilamana keterfungsian kita sebagai
mahasiswa telah terpenuhi, yang di mana bukan hanya datang di
kampus,belajar,kumpul tugas lalu pulang kerumah,namun juga di lihat seberapa
besar kontribusinya tehradap lingkungannya.
Saya kerap mendapatkan
bahkan saya sendiripun sangat merasakan bagaimana jika seorang mahasiswa
kembali kekampung halaman masing-masing,di anggap sebagai orang yang paling
benar yang perkataanya di iyakan setiap orang. Ini baru nama “MAHASISWA” belum
lagi jika sudah di tambahkan dengan embel-embel “AKTIVIS” maka di sinilah
tantangan itu kian bertambah, di samping akademik yang baik
keterpengaruhannyapun sangat di soroti banyak orang. Sekecil apapun yang di
lakukannya akan berdampak besar bagi orang lain, kritikan dan saran serta aksi
mereka akan mendapatkan sorotan dari banyak pihak.
Jika kita menilik
kembali kepada sejarah pergerakan mahasiswa adalah salah satu pergerakan yang
di anggap sebagai salah-satu gerakan yang suci, dikarenakan mampu menggulingkan
kedudukan pemerintah yang tidak pro dengan rakyat, bahkan banyak UU yang di
buat pemerintah di masa itu dikarenakan aspirasi mahasiswa. Namun jika kita
melihat mahasiswa atau bahkan aktivis saat ini, jarang lagi di dapatkan suatu
pergerakan yang tidak di tunggangi dengan kepentingan oknum tertentu. Hingga
ini mengakibatkan banyak aksi mahasiswa yang di pandang sebelah mata oleh
pemerintah, Mahasiswa banyak mengkritik kiri kanan hingga lupa esensi dari
kritikannya. Berlomba-lomba mencari eksistensi untuk membrending diri atau
lembaganya hingga banyak dari mereka yang lupa akan esensi dari perjuangan
mereka.
Mengutip perkataan kakanda
Indah (salah satu narasumber di dialog pancasila pikom IMM sultan
alauddin),bahwa “para mahasiswa atau aktivis saat ini banyak mengkritik sesuatu
tapi mereka sendiri tidak memahami makna dari kritikan mereka sendiri,hingga di
anggap kritikan mereka hanya ocehan semata”. Saya sepakat dengan hal tersebut
karena itulah realita yang terjadi saat ini di kalangan kaum aktivis, hari ini
mereka mengkritik pemerintah, namun besok justru mereka sendiri yang menjadi
pelaku terhadap system tersebut. Hingga aktivis tak tau ada di posisi sebagai
yang tertinda atau yang menindas?, kita tidak bisa menafikkan bahwa sekuat
apapun kita mengkritik bahkan menolak suatu system tanpa kita sadari kita telah
ada dalam otoritas suatu system yang mengikat kita. Misalnya saja dalam kampus
tidak boleh demonstrasi karena ini dan itu,jelas ini akan membuat para aktivis
geram namun di karenakan ancaman skorsing bahkan DO, para aktivis harus
berpangku tangan karena otoritas tadi.
Jadi menurut saya
sebagai seorang aktivis menjadi seorang pejuang yang paham akan banyaknya
ketidaknyamanan atas segala sistem yang ada hendaklah berjuang dengan penuh dan
yang jelas siap menanggung konsekuensi yang ada. Lebih baik kita menang lalu
mati dari pada hidup dengan kekalahan. Kalau kata Bung Karno “Merdeka atau
mati”.
“Apabila dalam diri
seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan,maka
jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan
selangkahpun”(Bung Karno).
Dari sudut kota
Makassar
10/oktober/2019
-a.a
Komentar
Posting Komentar